Friday, October 13, 2017

[Review] PENGABDI SETAN (2017): Sebuah Standar Baru Bagi Genre Horror di Indonesia


2017 has been a great year for horror movies in Indonesia. Buktinya ada 4 judul film horror di daftar Top 10 film Indonesia terlaris 2017 yang berhasil menembus angka 1 juta penonton. Bahkan 3 diantaranya menembus lebih dari 2 juta penonton. Bukti lainnya adalah selalu ada film horror lokal yang tayang setiap minggu nya mulai awal September sampai dengan pertengahan Oktober. Ya, genre horror benar-benar telah bangkit kembali. Persaingan pun dimulai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Karena apalah arti sebuah film jika hanya fokus di segi kuantitas dan melupakan kualitas. Ditengah banyaknya film horror yang bermunculan di bioskop tanah air, tidak banyak yang terlalu memperdulikan segi kualitas. Walaupun film horror saat ini jauh lebih baik dari film horror yang muncul di era 2009-2012 yang sangat mengeksploitasi bagian tubuh sang aktor perempuan atau dengan lawakan-lawakan garing nya, masih sedikit film horror yang bisa “menghantui” ataupun layak disebut  “seram”. Bahkan film dengan budget lebih dari 5 milyar rupiah pun belum tentu bisa memberikan efek kengerian yang diharapkan penonton.


Hingga muncullah film PENGABDI SETAN, sebuah remake dari film berjudul sama yang rilis pada tahun 1982 silam. Film ini disutradarai oleh Joko Anwar, seorang sutradara kenamaan bangsa yang dikenal dengan film-filmnya yang cukup idealis. Sebut saja contohnya Kala dan Pintu Terlarang. Kala yang merupakan film bergenre noir pertama di Indonesia, sedangkan Pintu Terlarang yang merupakan film adaptasi dari novel berjudul sama bergenre psychological thriller karangan Sekar Ayu Asmara. Pintu Terlarang sendiri adalah film Indonesia favorit saya sepanjang masa. Kedua film tersebut bisa dibilang idealis karena tergolong “nyentrik” dan cukup nekat. Karena pada jamannya penonton Indonesia belum terbiasa dengan genre seperti itu, alhasil kedua film tersebut flop di pasaran. Meskipun flop, kedua film tersebut sangat dipuji-puji oleh kritikus dan mempunyai penggemar tersendiri di kalangan tertentu. Kali ini Joko Anwar merilis PENGABDI SETAN, debut horror dan film komersil pertama dari beliau. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam membuat ulang sebuah film adalah filmnya harus lives up to the hype dengan film aslinya. Jangan sampai malah mengurangi kualitas yang telah dibangun oleh film aslinya. Apalagi film aslinya dicap sebagai film horror Indonesia terseram oleh majalah Rolling Stone Indonesia. Sangatlah mengecewakan apabila kualitas film remake nya lebih rendah daripada film original nya.


Di remake PENGABDI SETAN ini, menceritakan sebuah keluarga beranak empat dengan ibunya yang sudah sakit parah selama lebih dari 3 tahun. Keluarga ini pun jatuh miskin dan harus pindah ke rumah sang nenek yang berada di desa. Sang Ibu pun meninggal dunia. Bapak dari keempat anak tersebut harus pergi ke luar kota untuk mencari nafkah, meninggalkan empat anaknya bersama sang nenek. Setelah kepergian sang ayah, mulai banyak kejadian di rumah tersebut. Mulai dari suara-suara aneh hingga penampakan yang berwujud sang Ibu.


Di film ini Joko Anwar menggunakan pendekatan atmospheric horror, yang katanya tidak mengandalkan jumpscare, but it gets to your skin. Benar saja, beberapa jumpscare memang predictable karena memang fokus utamanya bukan di jumpscare. Tapi dalam build-up nya penonton dibuat merinding menantikan apa yang akan muncul selanjutnya. Bahkan jika pun penonton sudah tau apa yang akan muncul selanjutnya, tetap akan dibuat penasaran karena eksekusi nya yang tidak main-main. Selipan komedi yang dimasukkan juga cukup fresh. Tidak receh, tidak garing, tapi klop. Sangat pas buat penonton yang ingin mengambil nafas setelah dibuat sport jantung. Cerita keluarga yang dibangun pun cukup solid. Penonton dibuat peduli dan ikut merasakan emosional dengan berbagai kejadian yang menimpa keluarga ini. Tentunya bukan hanya faktor cerita saja yang membuat penonton ikut merasa peduli dengan situasi keluarga. Tetapi peran aktor juga sangat dibutuhkan dalam membangun karakter yang likeable dan bisa mengeluarkan rasa empati penonton. Salah satu faktor lain yang membuat remake PENGABDI SETAN ini memorable adalah karena Joko Anwar bisa membuat benda-benda di dalam film menjadi sangat ikonik. Beberapa diantaranya ada ibu, lonceng, sisir, radio, telur dadar, View-Master, sumur, payung, hingga biji saga. Benda-benda tersebut dimanfaatkan dengan sangat baik hingga para penonton pun jika mendengar salah satu nama benda tersebut langsung ingat bahwa benda itu ada di dalam film ini.


Last words, PENGABDI SETAN memang bukan film terseram yang pernah saya tonton. Tapi film ini telah membuat standar baru bagi genre horror di Indonesia. Jika ada yang mau membuat film horror Indonesia yang bagus, harus bisa lebih seram dari ini. Puncak dari standar film horror Indonesia.


Thursday, July 6, 2017

[Review] FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY (2017): Perjalanan Dua Sahabat Yang Menyenangkan

https://pbs.twimg.com/media/DD5dtebV0AAfMnL.jpg:orig

Sekuel dari film FILOSOFI KOPI yang dirilis tahun 2015 silam kini hadir dan diberi judul FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY. Masih disutradari oleh Angga Dwimas Sasongko dan naskah yang ditulis oleh Jenny Jusuf dan M. Irfan Ramly, kali ini menceritakan petualangan Ben dan Jody setelah mereka menjual kedai, berjualan dengan combi, dan memutuskan untuk membuka kedai kembali. Jika dibandingkan dengan film sebelumnya, FILOSOFI KOPI 2 ini lebih santai untuk diikuti. Alur nya mengalir lembut, dialog nya menarik, akting pemainnya asik, dan konflik yang tidak terlalu berat. 


Karakter baru yang hadir seperti Luna Maya sebagai Tarra, dan Nadine Alexandra sebagai Brie juga sangat menarik untuk ditelisik masa lalu nya. Bisa dibilang mereka adalah salah satu plot device. Tapi bukan berarti kehadiran mereka tidak penting. Malah menjadi salah satu daya tarik yang cukup menarik. Okay, enough with the chit-chat. Apa sih yang gua omongin barusan? Yang barusan cuma formalitas aja. Filmnya cantik banget. Banyak adegan keliling Indonesia, seperti Jogja, Lampung, Makassar, Toraja, Bali, dan jangan lupakan Jakarta. But something triggered me pas adegan keluar kota. Well, most of them, not all of them. Terasa vague maksud kedatangan mereka ke daerah daerah tersebut. Tapi gak jadi masalah karena ketutup sama dialog yang asik dan directing yang asik juga. Untuk konfliknya sih lebih ringan di film kedua ini. Jika di film pertamanya konflik nya rada berat, ditambah eksekusi yang seperti “lompat-lompat”, itu semua berhasil diperbaiki di film ini. 


Satu lagi, kenapa judulnya Ben dan Jody? Karena emang film ini memperlihatkan persahabatan antar keduanya secara detail. Ada suka dan duka, berhasil dan gagal, sedih dan senang, semua dihadapi bersama. Dan bagaimana cara mereka untuk mengatasi semua masalah yang ada itu bener bener worth to watch. Soundtrack di film kedua ini gak kalah dari soundtrack yang pertama. Super eargasm. In the end, FILOSOFI KOPI 2 memang gak se-filosofis film pertamanya, but more fun and more enjoyable to watch.


Tuesday, June 6, 2017

[Review] THE MUMMY (2017): Tries To Give A Homage To The Original With A Whole Another Story


Bagaimana rasanya jika tiba-tiba ada mayat yang hidup kembali dan mengancam nyawa umat manusia? Inilah yang harus dihadapi oleh Tom Cruise dalam film “The Mummy”. Anda tidak salah baca, memang benar Tom Cruise yang menjadi peran utama. Bukan Brendan Frazier. Disutradai oleh Alex Kurtzman yang sebelumnya pernah menyutradarai film “People Like Us” tahun 2012 silam. “The Mummy” adalah seri pertama dari franchise Universal’s Dark Universe. Bahkan ada logo Dark Universe di awal film. Bercerita tentang Putri Ahmanet yang diperankan oleh Sofia Boutella yang berusaha balas dendam atas apa yang telah diperbuat kepadanya di masa lalu. Film yang berdurasi 1 jam 50 menit ini terasa menyenangkan, tapi disaat yang bersamaan juga bisa terasa menyebalkan. Adegan pembuka dari film ini sangat menjanjikan. Membuat penonton berasumsi “Wah, film ini pasti bakal bagus”. Tak terlewatkan pula aksi “boom boom bang” yang sangat menyenangkan. Di film ini, anda juga akan banyak menemukan “comedic moment” yang akan banyak dibawakan oleh Jake Johnson sebagai Chris Vail, teman dari Nick Morton yang diperankan oleh Tom Cruise. Mungkin karena “The Mummy” yang original punya comedic tone yang kuat, jadi “The Mummy” yang baru ini juga mengikuti formula yang sama. But somehow, it didn’t match the tone. Dari segala bentuk promosi, sampai tone filmnya sendiri begitu dark. Rasanya tidak cocok saja jika film yang gelap seperti ini ditambah bumbu komedi. Ditambah lagi Tom Cruise yang berusaha ngelawak tapi kesannya malah “krik” banget.


Di bulan Maret 2017 lalu, pernah rilis film “Power Rangers”. Sebuah reboot live action dari serial berjudul sama. Yang somehow, memakai formula film “The Breakfast Club” karya sutradara John Hughes tahun 1985. Mulai dari anak-anak yang punya social clique yang berbeda satu sama lain. Awalnya mereka tidak saling kenal, sampai akhirnya bisa menemukan satu kesamaan dan menjadi satu kekuatan yang padu. Nah, “The Mummy” juga mempunyai formula yang sangat mirip dengan film “Lifeforce”, karya sutradara Tobe Hooper yang juga rilis di tahun 1985. Mulai dari setup nya, cara si villain menangkap mangsa nya, motif si villain, dan ending yang hampir serupa. Wow, serasa jiplak ya? Mungkin bagi yang belum pernah menonton “Lifeforce” tidak akan sadar betapa signifikan kemiripan-kemiripan yang saya sebutkan diatas. Mungkin memang lagi zamannya untuk film-film membuat premis atau formula dari film-film zaman dahulu biar tidak kentara. Ya tapi jangan persis-persis amat dong, kerasa banget ngejiplak nya. Seperti meme berikut ini:


Salah satu faktor yang juga bikin kesal adalah, banyak adegan yang membutakan mata. Lagi adegan gelap-gelapan, tiba tiba flashback tapi terang nya gak nyelo. Seriously, this is annoying af. Silau bener. Gak kontras. Overall, The Mummy is a fun film. Bener-bener action-packed. Kalau kalian suka sama lawakannya, pasti bakal ketawa. Just enjoy the movie. But I couldn’t. Lulz.


Wednesday, May 24, 2017

[Non-Review] 13 REASONS WHY: Killing You Softly



Hey, it’s Hannah. Hannah Baker. Nah, I’m totally kidding. Hannah’s dead. There’s no way she could wrote this whole fucking crap. I decided that this posting isn’t gonna be a review. Since this is not a review, I have more liberty to write this shit as weird as I want. Not that kind of formulaic review with difficult words that the readers don’t even understand what they read and shit, and I hope everyone who reads this can enjoy this post. And hopefully, this post is not boring af. But, if my writing still gets so boring, I’m sorry. There’s no perfect human being in this world. For example, I’m just gonna take some stereotypes here; there’s some guy who’s handsome but poor, and there’s who’s rich but ugly. Nobody’s perfect, right? You can judge me all the way you like. You can leave some hate comments or whatever. You, netizens, aliens, mermaids, drug addicts, or whatever you are, who are reading this right now, are the real critics. You can criticize my writings. I actually look forward for the comments.  Oh yeah, I almost forgot. Fair warning, lots of F word ahead. 


So recently, I’ve watched the most fucked up TV (or Web) Series ever made by a human being: 13 Reasons Why. Actually, there’s even more fucked up TV series rather than this, but so far, this is the craziest one. It doesn’t torture you physically, but mentally and emotionally. I don’t know why this show is so viral. Some people said that this is the most tweeted TV series. Fuck it. Anyway, I told my friend to download this show since I don’t have a good Internet connection. Don’t have enough data package, to be exact. The size is 5 fucking gigabytes. Where the hell can I get 5GB internet data with a cheap price? Hell yeah, I’m broke. Fuck. So my friend downloaded this shit. He watched it first. And he said this is the best TV series he ever watched. He gave 4 out of 5 rating. Haha bitch, Stranger Things is the best TV series I’ve ever watched, for fuck sake. I don’t know. I rarely watch American TV series. I usually watch those Korean Dramas that usually just selling, pfft, romantic comedies and shit. And to be honest, I cried watching those rom-coms shit. Haha, you may say that my taste on TV series are cheesy as fuck, but I can sure you, those Korean Dramas are better than Indonesian TV series. You know why. Except for Makjangs. They deserve to be hated. You don’t know what that means? Google the fucking shit! God damn it. 


Back to “13”, I watched this show in May despite it being released in March. I was 2 months late, but that’s okay. It’s better late than never. I could say that this show is so important for our society. Especially for high-schoolers. I’m so lucky that I’m a fucking sophomore in high school, and this show tells about it. Like, I could relate to it, so much. But there’s some part in it that doesn’t feel neither relatable nor realistic. Maybe because in Indonesia something like that rarely happens. Like, come on, what kind of a high school student who rapes their own friend? That’s so illogical. Maybe that’s because I’m too fucking naïve or anything. In the first few episodes, the kids whose names are on the tape, acted like a bunch of fucking cowards who wanted to silent their friend, Clay, for being too babbly about the tapes. Like, seriously Clay? What took you so fucking long to hear those tapes? Well, at first I hated Clay for being too whiny, snout, and taking too much time just to hear all the 13 tapes. But gradually, I understand why. It was not easy to hear all those tapes. I’m becoming Clay. I’m becoming Amy Adams when she reads the Nocturnal Animals manuscript. Have you guys watched that movie? Nocturnal Animals? Amy Adams’s reaction while reading the manuscript gradually becomes my reaction while watching the show. And also Clay Jensen’s reaction while hearing those tapes. It was depressing. It was dark. It was not supposed to happen to Hannah Baker. What those kids did to Hannah was not okay. But there’s also some point where I thought Hannah just over-reacting with all those things done to her. I don’t know. 


Why first impressions always wrong? Like, you hated it at first, than ended up liking it. Fuck you, 13 Reasons Why. I fucking cried during the end of episode 11 & 13. You got my feelings crushed there. But what’s with the ending? Spoiler alert: Alex got a headshot. From who? There’s no way he shot himself. Alex is a good kid. Unless Tyler shot him. That’ll explain everything. But why? Spoiler ends. One thing I hate about this show is that in the first few episodes, they teased so much about what will happens in the future episodes. Instead of making me curious, it made me furious. What’s the point anyway? Boosting up the ratings? God please. 


But still, like the title of this post: Killing You Softly, it did. You need to watch what you say and what you do. I’m surprised, knowing that one simple mistake caused by your mouth, could make a person lost their lives. Every person has a sensitive part. We don’t know what factor that can trigger that sensitive part. Once you trigger that sensitive part out of a person, you don’t know what they’re going to do. Either they becomes angry, throw a tantrum, gone amok, or worst, kill themselves. Okay, that’s just too much. Too pleonastic, wasn’t it? Before I watched this show, I always thought: why would people prevent other people from committing suicide? It’s their sin, why bother? But after I watched the fucking show, finally I understand why people did that. People needed support. We are social creatures. We rely on communication to stay alive. I don’t know. It’s all just bullshits coming out from my fucking head. I don’t know if they were true, or just fake news #TrumpStyle. Wow, maybe this is the first time I write this long. Well, maybe hasn’t long enough, but it’s quite long. Whatever. I don’t have any final thoughts. So, have you guys watched this show? If you have, what do you guys think about it? Is it good? Or not? Is it important? Or not? Let me know in the comments. If you haven’t watched the show, would you like to watch it? Or not? Let me know in the comments. And even though this is not a fucking review, I still have to rate this show. My rating is….


Saturday, May 13, 2017

[Review] CRITICAL ELEVEN (2017): Bagaimana Cinta Bisa Rusak Karena Alur


Salah satu film yang saya tunggu tunggu akhirnya tayang juga di bioskop. Ya, "Critical Eleven" adalah sebuah novel karangan Ika Natassa yang diangkat ke layar lebar. Disutradarai oleh Monty Tiwa & Robert Ronny, naskahnya ditulis oleh Jenny Jusuf yang sebelumnya pernah memenangkan Piala Citra 2015 untuk naskah film "Filosofi Kopi". Dibintangi Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang sebelumnya pernah bermain bersama di film "Kapan Kawin?". 
 
 
Bercerita tentang Anya yang cinta bandara, dan Ale yang bekerja di oil rig di Meksiko. Mereka berdua bertemu di pesawat dalam penerbangan menuju Sydney. Babak pertama film ini memang terasa sungguh manis. Chemistry Reza dan Asti di film ini tidak main main. Tapi pacing di babak awal ini juga kelihatan berantakan. Seperti buru-buru ingin menuju ke konfliknya. Baru pengenalan karakter yang satu, langsung berpindah ke adegan lainnya. Jadi terlihat kurang mulus. Padahal nuansa yang berusaha dibawakan oleh babak awal ini adalah nuansa kedamaian dan penuh cinta. Dikarenakan pacing yang buru buru, susah mau merasakan kedamaian yang diberikan. Tapi karena chemistry para pemainnya yang begitu klop, berhasil membuat hati saya hangat dan membuat saya tersenyum berkali kali dikarenakan so sweet moment yang diberikan begitu banyak. 
 
 
Memasuki babak ke 2, konflik mulai muncul. Pembawaan emosi terbesar justru muncul di awal konflik. Jujur, saya meneteskan air mata. Kita bisa merasakan rasa sakit dan derita yang sungguh mendalam -- sekali lagi, karena kemampuan akting Reza dan Asti yang sungguh brilian. Tapi, rasanya tidak cukup sekali upaya untuk menbuat penonton menangis. Berkali kali muncul adegan yang emosional. Bukannya ikut terbawa sedih, saya malah merasa lelah. Terkesan repetitif sekali. Bahkan setelah resolusi konflik. Muncul lagi konflik berikutnya yang menurut saya tidak perlu. Film menjadi terasa draggy. Seperti hanya ingin memanjang-manjangkan durasi. Rasa simpati saya terhadap karakter karakter di film sudah hilang. Penonton dipaksa ikut merasakan atmosfir muram seperti di film. But there's nothing left. Air mata saya sudah tak mampu lagi dikeluarkan. Toh apa lagi yang mau dikasihani dari kedua karakter yang sedang tersiksa ini. But, once again people, love conquers all. Semua permasalahan diatas ditutup dengan cara se-klise mungkin. Duh. 
 
 
Anyway, visual dari film ini sangat classy. Elegant, beautiful, calm, also charming at the same time. Thanks to Yudi Datau sebagai DOP. Sinematografi nya luar biasa cantik. Dan scoring dari Andi Rianto juga sangat pas dengan tone film nya. Sangat ear catchy. Elegant yet charming. Soundtrack yang dibawakan Isyana Sarasvati pun berhasil menjadi lagu yang on repeat di playlist saya. Last but not least, seluruh cast yang berhasil memainkan peran dengan sepenuh hati. Tanpa kalian, mungkin film ini tidak akan 'hidup' seperti ini. Especially you, Reza & Asti. You guys are the real MVP. Jadi, final thoughts. Film ini sudah bagus dari segi teknis dan pemain. Asal script dan pacing nya dipoles sedikit lagi, mungkin akan menjadi mahakarya yang sempurna. Sesempurna cinta Ale & Anya.
 
This shot is so freaking beautiful, isn't it?
 
 

Sunday, April 30, 2017

[Review] STIP & PENSIL (2017)


Setelah “Cek Toko Sebelah” yang mendapat tanggapan baik dari para penonton, serta berhasil memperoleh lebih dari 2 juta penonton, Ernest Prakasa kembali lagi ke dunia perfilman. Tetapi kali ini hanya sebagai aktor. Tidak sebagai penulis naskah maupun sebagai sutradara. Film yang juga dibintangi oleh Tatjana Saphira, Indah Permatasari, dan Ardit Erwandha ini menceritakan tentang 4 anak SMA yang sombong, gaul, dan kaya. Yaitu Toni, Aghi, Bubu, dan Saras. Disaat mereka diberikan tugas untuk menulis essay mengenai kepedulian sosial, mereka bertemu dengan Ucok, seorang bocah pengamen jalanan. Disitulah mereka mendapat inspirasi untuk membuat essay tentang anak anak kurang mampu yang belum mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka pun membuat sekolah darurat di lingkungan tempat tinggal anak anak kurang mampu tersebut. Tapi disinilah konflik bermula. 


Naskah yang ditulis sangat brilian oleh Joko Anwar ini mengandung banyak sindiran terhadap society kita. Maklum, 2 film komedi yang sebelumnya juga ditulis oleh Joko Anwar (Arisan & Janji Joni) adalah komedi satir. Mulai dari berita hoax sampai “disuap” agar mau sekolah pun ada. Dari sisi komedi, entah kenapa filmnya “enjoyable” banget. Terakhir nonton komedi sampe se-ngakak ini saat nonton “My Stupid Boss” which is last year. Nonton “Warkop DKI Jangkrik Boss Part 1” juga ngakak, tapi lebih banyak cringe nya dibandingkan lucu nya. Untuk “Stip & Pensil” ini, lucu nya benar benar alami. Mulai dari lugunya Bubu, sampai mbah yang hidupnya selalu menderita. Tapi, karena saking fokus kepada sisi komedi nya, pesan satir yang berusaha disampaikan disini menjadi tidak terasa. Ada beberapa adegan yang semestinya menunjukkan pesan tapi malah jadi “Ini maksudnya apa?”. Dan babak akhir yang terkesan buru buru hingga sedikit menghilangkan rasa cinta terhadap film ini. Beberapa adegan di film ini juga tidak perlu ada di film ini. Seperti hubungan Edwin & Saras. Dan Ncek dan Bapaknya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai dua bagian itu. Bagaikan plothole, tidak terjawab pula tidak penting. 


Tidak ada yang spesial dari directing style nya Ardy Octaviand, yang sebelumnya pernah menyutradarai film “3 Dara”. Tetapi, Ardy paham betul bagaimana cara merealisasikan apa yang ada di naskah menjadi nyata. Dan para cast yang patut diacungi jempol, terutama Tatjana yang berhasil memerankan seorang Bubu yang tulalit. I’m in love with her. Gimana caranya jadi karakter yang  bodoh tapi tetap buat kita jatuh cinta sama karakter tersebut itu susah lho. Setiap scene yang ada Bubu nya pasti bikin senyum senyum sendiri. Dan oh ya, joke Bubu yang super meta itu berhasil bikin saya ngakak. Ernest yang sudah beranak dua pun masih bisa berakting menjadi murid SMA dan berbaur dengan ketiga cast lainnya tanpa ada rasa awkward. Saya sebagai penonton pun juga tidak merasa aneh ataupun ilfeel melihat Ernest sebagai murid SMA. “Stip & Pensil” adalah sebuah sajian yang menghibur, walaupun lack of its message, tapi tetap enjoyable. It’s a must watch. Apalagi untuk anak anak SMA sekarang.
 


Friday, March 31, 2017

[Review] GET OUT (2017)


“A MIND IS A TERRIBLE THING TO WASTE”

Kalimat diatas yang hanya muncul sekilas dan mungkin akan terlewat jika anda tidak fokus, ternyata mempunyai arti yang dalam bagi saya. Dan mungkin kalimat tersebut wraps the whole movie. “Get Out”  adalah karya teranyar dari Jordan Peele, seorang komedian yang mulai merambah dunia perfilman. ”Get Out” adalah debut nya sebagai sutradara. Film ini diproduksi oleh Blumhouse, production house yang terkenal dengan film film horornya. 


Menceritakan sebuah pasangan interrasial, Chris (Daniel Kaluuya) seorang fotografer berkulit hitam, berpacaran dengan Rose (Allison Williams) yang berkulit putih. Pasangan interrasial juga bisa ditemukan sebelumnya dalam film “Loving” yang rilis di tahun 2016 silam. Rose mengajak Chris untuk ber-akhir pekan di villa milik orang tua Rose, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener). Dan disinilah semua bermula. Banyak hal-hal yang dianggap Chris tidak wajar. 


Keunggulan utama dari film ini adalah skenario nya yang sangat brilian. Ide cerita yang belum pernah ditemui dimanapun. Banyaknya metafora dan fakta yang diputar balikkan menjadi faktor kekaguman tersendiri. Sejak kapan pasangan interrasial menjadi topik utama dalam film horror? Dari opening scene nya saja, sudah terlihat mau kemana film ini berjalan. Pengenalan karakter nya berjalan perlahan. Bagaimana perilaku karakter karakter ini, dan apa maksud yang ingin disampaikan oleh karakter tersebut. 


Jangan lupa bahwa ini adalah horror komedi. Karena sepanjang film akan ada karakter Rod (Lil Rel Howery), best friend dari Chris. Rod lah yang akan mengantarkan dialog komedi dan siap membuat anda tertawa. 


Memasuki babak ke 2, akan banyak pertanyaan yang muncul dalam benak anda. Hingga memasuki babak ke 3, barulah semua pertanyaan terjawab, dan klimaks yang tak kenal ampun dimulai. Keeps you on the edge of your seat. Lupakan semua yang anda tahu di awal, karena jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang ada di benak anda sangatlah bertolak belakang dari yang anda kira. 


Akting yang sangat mumpuni dari Williams dan Howery  cukup memberikan gejolak emosi dalam diri penonton. Film ini menyajikan topik rasisme – hal yang cukup dipermasalahkan di Amerika saat ini, dengan sangat unik. Kita tidak melihat rasisme secara stereotype, tetapi malah sebaliknya. Ide cerita yang sangat unik. 


“Get Out” bukan sekedar unik, tapi sebuah suguhan baru dalam industri perfilman horror Hollywood. Saat horror kebanyakan hanya mengandalkan jumpscare instead of using its atmosphere to create horror, “Get Out” membawa keduanya. Sebuah film horror anti mainstream, yang wajib anda saksikan di bioskop.

 "Sink into the floor."